Kemenangan Terence Crawford atas Saul “Canelo” Alvarez pada tahun 2025 dipandang sebagai langkah besar yang dapat mengangkatnya menjadi petinju terbaik dalam tiga dekade terakhir, menurut pelatih Greg Hackett. Namun, meskipun pujian mengalir, ada sejumlah kritik yang menilai pencapaian Crawford masih jauh dari menyamai para legenda tinju seperti Oscar De La Hoya atau Manny Pacquiao.
Hackett memuji Crawford, yang saat ini memegang rekor 41-0 dengan 31 KO, sebagai petinju yang sangat terampil, dengan gelar juara dunia yang berhasil diraih di empat divisi. Ia menilai, kemenangan atas Canelo yang sudah berada dalam kondisi terbaiknya akan memperkokoh status Crawford sebagai petinju terbaik dalam 30 tahun terakhir. “Dia memang punya kemampuan teknik yang luar biasa, tetapi untuk menjadi yang terbaik dalam tiga dekade, dia harus mengalahkan petinju-petinju yang jauh lebih tangguh,” kata Hackett.
Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya diterima oleh semua kalangan. Kritik muncul terhadap strategi yang digunakan Crawford, yang dianggap lebih memilih untuk menghindari pertarungan fisik langsung dengan Canelo, mengingat gaya bertarungnya yang lebih mengandalkan gerakan dan kecepatan. Hal ini mengingatkan pada gaya bertarung Floyd Mayweather Jr., yang dikenal dengan strategi “memukul dan lari” yang menghindari konfrontasi langsung.
Meskipun begitu, Hackett menilai Crawford memiliki keunggulan di dalam ring, terutama dengan pencapaian meraih gelar juara di empat divisi. Namun, menurutnya, banyak kemenangan Crawford yang terkesan kurang mengesankan, karena banyak lawan yang dihadapinya sudah berada di ujung karier mereka. Hackett bahkan membandingkan Crawford dengan Adrien Broner, yang juga meraih gelar juara dunia di empat divisi, namun dianggap tidak memiliki kualitas lawan yang sebanding. “Crawford memang berhasil mengalahkan lawan-lawannya, tetapi banyak dari mereka yang sudah menurun performanya,” tegas Hackett.
Di sisi lain, para kritikus tinju berpendapat bahwa meskipun Crawford mampu meraih prestasi besar, ia belum bisa disebut sebagai yang terbaik dalam 30 tahun terakhir. Mereka menilai Crawford tidak mampu mengumpulkan kemenangan sebesar mantan juara dunia enam divisi, Oscar De La Hoya, atau juara delapan divisi, Manny Pacquiao, yang kariernya dipenuhi dengan lawan-lawan tangguh yang benar-benar menguji kapasitas mereka di puncak karier.
Kritik ini semakin tajam karena banyak yang merasa Crawford diuntungkan dengan adanya promotor yang memilihkan lawan-lawan yang lebih mudah untuk dihadapi, menghindari pertarungan dengan petinju yang lebih berisiko. Bahkan, beberapa pengamat merasa bahwa Crawford hanya melawan lawan-lawan yang lebih selektif dan kurang menantang, sebuah pola yang juga dikritik pada gaya bertarung Floyd Mayweather Jr., yang terlalu selektif dalam memilih lawan untuk mempertahankan rekor sempurna “O”-nya.
Sementara itu, dunia tinju terus memperdebatkan siapa yang pantas menyandang gelar petinju terbaik dalam beberapa dekade terakhir. Dengan adanya tantangan besar dari petinju seperti Canelo, serta pengaruh promotor dan strategi bertarung, perjalanan Terence Crawford masih menyisakan tanda tanya besar apakah ia bisa benar-benar mengklaim posisi tertinggi dalam sejarah tinju dunia.